Sabtu, 19 Februari 2011

Asal Mula Erau

Tenggarong adalah ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Indonesia. Pada mulanya, kota Tenggarong merupakan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara bernama Tepian Pandan. Namun, oleh Sultan Kutai, Aji Muhammad Muslihuddin (Aji Imbut), nama Tepian Pandan diubah menjadi Tangga Arung yang berarti rumah raja. Kemudian dalam perkembangannya, Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong sampai saat ini. Di daerah ini telah berkembang sebuah cerita legenda yang sangat populer yaitu Asal-Mula Erau. Cerita legenda ini mengambil latar belakang cerita di masa Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura (abad ke-13 M.) yang berdiri di Tepian Batu atau Kutai Lama. Cerita legenda ini terpusat pada kisah seorang laki-laki bernama Aji Batara Agung Dewa Sakti, seorang dari keturunan Dewa yang memiliki wajah sangat tampan, sehat dan cerdas. Ia tumbuh dan berkembang di lingkungan suku-bangsa Tenggarong Kutai. Sebagai keturunan Dewa, ia tidak boleh diperlakukan seperti halnya seorang anak manusia biasa. Oleh karena itu, sejak kecil ia dirawat dan dibesarkan dengan baik dan hati-hati oleh keluarga Petinggi Dusun Jaitan Layar. Pada waktu-waktu tertentu, keluarga Petinggi Dusun Jaitan Layar harus mengadakan upacara adat untuk Aji Batara Dewa Sakti yang dikenal dengan Erau.
Alkisah, di lereng sebuah gunung di daerah Kalimantan Timur terdapat sebuah dusun bernama Jaitan Layar. Di dusun itu tinggal seorang Petinggi bersama istrinya. Meski sudah menikah puluhan tahun, mereka belum dikaruniai seorang anak pun. Namun demikian, suami-istri itu tak pernah putus asa. Mereka senantiasa pergi bertapa, menjauhi kerabat dan rakyatnya untuk memohon pada Dewata agar diberi keturunan.
Pada suatu malam, ketika mereka sedang tertidur nyenyak, tiba-tiba dikejutkan oleh suara gemuruh di halaman rumahnya. Malam yang semula gelap gulita tiba-tiba berubah menjadi terang benderang, kejadian itu membuat mereka sangat heran. “Pak, coba lihat apa yang terjadi di luar,” kata sang istri.
Dengan memberanikan diri Petinggi Dusun Jaitan Layar keluar dari rumahnya. Ia sangat terkejut melihat sebuah batu raga mas berada di halaman rumahnya. Di dalamnya terbaring seorang bayi laki-laki yang masih merah berselimutkan kain berwarna emas. Tangan kanan bayi itu menggenggam sebutir telur ayam dan tangan kirinya memegang sebilah keris emas.
Petinggi Dusun itu semakin terkejut ketika tiba-tiba di hadapannya berdiri tujuh dewa. Satu dari tujuh dewa itu berkata, “Berterima kasihlah kamu, karena doamu telah dikabulkan oleh para Dewa.”
Kemudian Dewa itu berpesan kepada Petinggi Jaitan Layar, ”Ketahuilah bayi ini keturunan para Dewa di Kahyangan. Oleh karena itu kamu tidak boleh menyia-nyiakannya. Cara merawatnya berbeda dengan merawat anak manusia. Bayi ini tidak boleh diletakkan sembarangan di atas tikar, akan tetapi selama empat puluh hari empat puluh malam harus dipangku secara bergantian oleh kaum kerabat sang Petinggi. Jika kamu ingin memandikan bayi ini, jangan menggunakan air biasa, tetapi harus dengan air yang diberi bunga-bungaan.”
Dewa itu juga berpesan kepada sang Petinggi, “Jika bayi ini sudah besar tidak boleh menginjak tanah sebelum diadakan Erau. Pada upacara Tijak Tanah (Menginjak Tanah), kaki anak ini harus diinjakkan pada kepala manusia yang masih hidup dan kepala manusia yang sudah mati. Selain itu, kaki anak ini juga harus diinjakkan pada kepala kerbau yang masih hidup dan kepala kerbau yang sudah mati. Begitu pula jika anakmu hendak mandi di sungai untuk pertama kali, hendaknya kau harus mengadakan Erau Mandi ke Tepian sebagaimana pada upacara Tijak Tanah.”
Bukan main senangnya Petinggi Jaitan Layar mendapatkan anak keturunan para Dewa. “Terima kasih Dewa. Semua perintah Dewa akan hamba laksanakan,” kata sang Petinggi sambil menyembah. Saat itu pula, tiba-tiba ketujuh Dewa tersebut menghilang dari hadapan sang Petinggi. Bayi itu pun segera dibawa oleh sang Petinggi masuk ke dalam rumah. Lalu, sang Petinggi menceritakan kejadian yang baru saja ia alami kepada istrinya. Bukan main senangnya istri sang Petinggi mendengar cerita suaminya, apalagi setelah ia melihat bayi itu. Ia bagaikan bulan purnama, wajahnya tampan tiada banding, tubuhnya sehat dan segar, siapa pun memandangnya akan bangkit kasih sayang terhadapnya.
Beberapa saat kemudian bayi itu tiba-tiba menangis. Sepertinya bayi itu sedang kelaparan. Sang Petinggi pun menjadi bingung, karena payudara istrinya tidak dapat mengeluarkan air susu. Apa lagi yang bisa diharapkan dari seorang perempuan tua seperti istrinya untuk menyusui seorang anak. Akhirnya, sang Petinggi membakar dupa dan setanggi. Lalu, sambil menghambur beras kuning, ia memanjatkan doa kepada para Dewa agar memberikan karunia kepada istrinya berupa air susu yang harum baunya. Tak lama setelah berdoa, terdengarlah suara dari Kahyangan, “Hai Nyai Jaitan Layar, usap-usaplah payudaramu dengan tangan berulang-ulang sampai terpancar air susu darinya”.
Mendengar perintah itu, istri Petinggi Jaitan Layar segera mengusap-usap payudaranya sebelah kanan sebanyak tiga kali. Tiba-tiba, mencuratlah dengan derasnya air susu dari payudaranya yang sangat harum baunya seperti bau ambar dan kasturi. Bayi itupun mulai menyusu pada istri Petinggi. Kedua suami-istri itu sangat bahagia melihat bayi keturunan Dewa itu telah mendapatkan air susu.
Setiap hari, sang Petinggi dan istrinya merawat anak mereka dengan baik. Sesuai perintah Dewa, mereka senantiasa memandikan bayi itu dengan air yang diberi bunga-bungaan. Tiga hari tiga malam kemudian, putuslah tali pusar bayi itu. Seluruh penduduk dusun Jaitan Layar bergembira. Mereka merayakannya dengan menembakkan Meriam Sapu Jagat sebanyak tujuh kali. Empat puluh hari empat puluh malam bayi itu dipangku penduduk secara bergantian dan berhati-hati. Sesuai petunjuk Dewa dalam mimpi Petinggi, bayi laki-laki itu diberi nama Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Waktu terus berlalu. Kini Aji Batara Agung Dewa Sakti telah berumur lima tahun. Anak seusia Aji tentu sangat ingin bermain di luar rumah bersama teman-teman sebayanya. Ia juga ingin mandi di sungai seperti anak-anak lain. Ia sudah sangat bosan dan jenuh dikurung di dalam rumah.
Sang Petinggi teringat dengan pesan Dewa ketika menerima anak itu. Maka ia dan istrinya bersama seluruh penduduk Dusun Jaitan Layar mempersiapkan Erau. Dalam pesta Erau itu digelar upacara Tijak Tanah dan Mandi ke Tepian. Upacara Erau berlangsung sangat meriah selama empat puluh hari empat puluh malam. Sesuai petunjuk Dewa, Petinggi menyembeli bermacam-macam binatang dan beberapa orang untuk diinjak kepalanya oleh Aji Batara Agung pada upacara Tijak Tanah.
Dalam upacara Tijak Tanah dan Mandi ke Tepian, Aji Batara Agung diarak dan kemudian kakinya dipijakkan pada kepala-kepala binatang dan manusia yang telah diselimuti kain kuning. Kemudian Aji Batara Agung diselimuti dengan kain kuning, lalu diarak ke tepian sungai. Di tepi sungai, Aji Batara Agung dimandikan, kakinya dipijakkan pada besi dan batu. Semua penduduk Jaitan Layar kemudian turut mandi, baik wanita maupun pria, baik orang tua maupun orang muda. Setelah selesai upacara mandi, maka khalayak mengarak kembali Aji Batara Agung ke rumah orang tuanya, lalu memberinya pakaian kebesaran. Setelah itu mereka mengarak kembali Aji Batara Agung ke halaman dengan dilindungi payung agung, diiringi dengan lagu gamelan Gajah Perwata dan bunyi meriam Sapu Jagat.
Sesaat kemudian, tiba-tiba dentuman suara guntur yang sangat dahsyat menggoncang bumi disertai dengan hujan panas turun merintik. Kejadian itu tidak berlangsung lama. Cahaya cerah kembali menerangi alam, awan di langit bergulung-gulung seakan-akan memayungi penduduk yang sedang mengadakan upacara di bumi. Penduduk Jaitan Layar kemudian menghamparkan permadani dan kasur agung, lalu membaringkan Aji Batara Agung di atasnya. Gigi Aji Batara Agung pun diasah kemudian diberi makan sirih.
Selesai upacara tersebut, pesta Erau pun dimulai. Berbagai makanan dan minuman disediakan untuk penduduk. Bermacam-macam permainan dipertunjukkan. Laki-laki dan perempuan menari silih berganti. Juga tidak ketinggalan diadakan adu binatang. Keramaian ini berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dengan tidak putus-putusnya.
Setelah pesta Erau selesai, semua bekas balai-balai yang digunakan dalam pesta ini dibagi-bagikan oleh Petinggi kepada penduduk yang melarat. Demikian pula, semua hiasan-hiasan rumah oleh istri Petinggi diberikan kepada penduduk.
Para undangan dari berbagai negeri dan dusun, berpamitan kepada Petinggi dan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Mereka memuji-muji Aji Batara Agung dengan berkata, “Tiada siapa pun yang dapat menyamainya, baik rupanya yang tampan maupun sikapnya yang berwibawa. Patutlah dia anak dari batara Dewa-Dewa di khayangan.” Setelah berpamitan, para undangan kembali ke negeri dan dusunnya masing-masing untuk mencari nafkah sehari-sehari.
Sementara itu, Aji Batara Agung Dewa Sakti makin hari makin dewasa. Ia tumbuh menjadi remaja yang gagah, tampan, cerdas dan berwibawa. Ia kelak akan menjadi Raja pertama dari kerajaan Kutai Kartanegara. Setelah mencapai usia dewasa, tibalah saatnya Aji Batara Agung Dewa Sakti diangkat menjadi raja Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura yang pertama (1300-1325). Saat ia diangkat menjadi raja, Erau kembali diadakan dengan meriah. Sebagai raja pertama, maka Aji Batara Agung Dewa Sakti dianggap sebagai nenek moyang raja-raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura.
Setelah menjadi raja, Aji Batara Agun Dewa Sakti menikah dengan seorang putri yang cantik jelita bernama Putri Karang Melenu. Konon ceritanya, Putri Karang Melenu juga merupakan titisan Dewa dari Kahyangan. Awalnya, ia adalah ulat kecil yang ditemukan oleh seorang Petinggi Hulu Dusun di daerah kampung Melanti dekat Aliran Sungai Mahakam. Pada suatu hari, ketika Petinggi Hulu Dusun sedang membelah kayu bakar, tiba-tiba ia dikejutkan oleh seekor ulat kecil. Ulat kecil itu melingkar di belahan kayu dan memandangnya dengan mata yang sayu, seakan minta dikasihani. Dengan lembut sang Petinggi mengambil ulat itu untuk dipelihara.
Waktu terus berlalu. Ulat kecil itu tumbuh semakin besar. Lama-kelamaan binatang itu berubah menjadi seekor naga yang besar. Meskipun besar dan menyeramkan, naga itu jinak dan tak pernah keluar dari rumah. Pada suatu malam Petinggi bermimpi bertemu seorang putri yang cantik jelita. Dalam mimpinya, sang Putri berkata, “Ayah dan Bunda tidak usah takut kepada ananda, meski tubuh ananda besar dan menakutkan. Izinkanlah ananda untuk pergi dari sini. Buatkanlah ananda sebuah tangga untuk merayap ke bawah”. Ketika terbangun, sang Petinggi menceritakan mimpinya kepada Istrinya, Babu Jaruma.
Keesokan harinya, sang Petinggi pun sibuk membuat tangga dari kayu lampong. Anak tangganya terbuat dari bambu yang diikat dengan akar lembiding. Selesai membuat tangga, tiba-tiba Petinggi mendengar suara sang Putri yang menemuinya dalam mimpi. “Bila ananda telah turun ke tanah, ananda minta Ayahanda dan Bunda mengikuti ananda ke mana saja ananda merayap. Ananda juga minta agar Ayahanda membakar wijen hitam serta menaburi ananda dengan beras kuning. Jika ananda merayap sampai ke sungai dan menyelam, ananda mohon Ayahanda dan Bunda mengiringi buihku.” Sang Naga pun kemudian menuruni tangga, lalu merayap meninggalkan rumah. Sang Petinggi dan istrinya mengikuti naga itu sesuai dengan petunjuk sang Putri.
Ketika sang Naga sampai di sungai, ia berenang tujuh kali berturut-turut ke hulu dan tujuh kali ke hilir. Kemudian dia berenang ke Tepian Batu. Petinggi dan istrinya mengikuti sang Naga dengan perahu. Di Tepian Batu, sang Naga berenang ke kiri tiga kali dan ke kanan tiga kali kemudian menyelam. Pada saat menyelam, tiba-tiba terjadilah peristiwa yang sangat dahsyat. Air sungai pun bergolak. Angin topan bertiup dengan kencang. Hujan deras turun disertai guntur dan petir bersahut-sahutan. Perahu yang ditumpangi Petinggi dan istrinya terombang-ambing oleh gelombang air sungai. Dengan susah payah Petinggi berusaha mengayuh perahunya ke tepi.
Tak lama peristiwa itu berlangsung, tiba-tiba cuaca kembali terang. Petinggi dan istrinya heran. Ke mana perginya sang Naga? Tiba-tiba mereka melihat suatu pemandangan yang menakjubkan. Air Sungai Mahakam dipenuhi dengan buih. Warna-warni sinar pelangi menerpa buih hingga bercahaya kemilau. Petinggi dan istrinya mendekat. Mereka terkejut karena ditumpukan buih itu terdapat sebuah gong besar dan di dalamnya ada sebuah benda. Entahlah, benda apa itu? Petinggi dan istrinya semakin penasaran. Petinggi bergegas mengayuh perahunya ke arah benda itu. “Lihat Pak! Sepertinya benda itu seorang bayi,” seru istri Petinggi sambil menunjuk ke arah gong itu. Ternyata benar, benda di dalam gong itu adalah seorang bayi perempuan. Kemudian mereka pun mengambil gong berisi bayi itu dan membawanya pulang.
Sang Petinggi dan istrinya merawat bayi itu dengan baik seperti anak kandungnya sendiri. Mereka sangat senang sekali mendapatkan anak dari Kahyangan. Setelah genap tiga hari, putuslah tali pusar bayi itu. Sesuai perintah Dewa di dalam mimpi Petinggi, bayi perempuan itu diberi nama Putri Karang Melenu.
Waktu terus berjalan, Putri Karang Melanu tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita, baik budi, dan pintar. Setelah dewasa, Dewata pun mempertemukannya dengan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Keduanya lalu menikah. Sang Putri pun menjadi permaisuri Raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura I dan melahirkan seorang putra bernama Aji Batara Agung Paduka Nira.
Demikianlah kisah perjalanan hidup Raja Aji Batara Agung Dewa Sakti dengan permaisurinya Putri Karang Melanu mulai kecil hingga akhirnya mereka menikah. Sejak Aji Batara Agung Dewa Sakti menjadi Raja Kutai Kartanegara, Erau diadakan pada setiap pergantian atau penobatan raja-raja Kutai Kartanegara. Untuk mengenang kembali peristiwa kehadiran Putri Karang Melanu, diadakan pula upacara Mengulur Naga. Upacara ini merupakan puncak acara pada Erau yang hampir setiap tahunnya diselenggarakan oleh masyarakat Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Selain Mengulur Naga, masyarakat Kutai Kartanegara mengenang Putri Karang Melanu dengan membangun sebuah gedung pertunjukkan pada tahun 2003 yang diberi nama Putri Karang Melanu.
Pada masa kerajaan Kutai Kartanegara, Erau diselenggarakan oleh kerabat istana dengan mengundang pemuka masyarakat yang setia kepada raja. Waktu penyelenggaraan Festival Erau tergantung pada kemampuan kerajaan, minimal tujuh hari delapan malam dan maksimal empat puluh hari empat puluh malam. Namun, sejak masa kerajaan Kutai Kartanegara berakhir tahun 1960, pelaksanaan Erau sempat mandek selama beberapa tahun. Baru pada tahun 1971, Erau (yang kemudian populer dengan sebutan Festival Erau) ini kembali dilaksanakan atas prakarsa Bupati Kutai, Achmad Dahlan, dengan merangkaikan perayaan hari jadi Kota Tenggarong. Sejak itulah, Festival Erau menjadi agenda rutin pemerintah Kutai Kartanegara dalam rangka memperingati hari jadi Kota Tenggarong. Oleh karena itu, setiap perayaan hari jadi Kota Tenggarong selalu dirangkaikan dengan Festival Erau dan berbagai festival lainnya. Pada tanggal 28 September 2003, perayaan hari jadi Kota Tenggarong ke-221 dirangkaian dengan penyelenggaraan Festival Erau dan Zapin International Festival.
Dalam Festival Erau, berbagai macam seni dan olahraga tradisional yang mereka tampilkan, di antaranya Menjamu Benua, Merangin Malam, Mendirikan Tiang Ayu, Upacara Penabalan, Pelas (Pagelaran Kesenian Keraton Kutai Kartanegara), Seluak Mudik, Mengulur Naga, dan diakhiri dengan Belibur. Selain itu, dalam festival itu juga ditampilkan berbagai kesenian Dayak seperti Papaer Maper, Kuangkay, Mumutn, Ngayau, Lemakan Balei, Uman Undad, Pasek Truit, Erau Anak (Penhos). Tak ketinggalan pula keseniaan daerah pesisir (kesenian Melayu) seperti Tarsul dan Badendang. Untuk lebih meramaikan Festival Erau, biasanya diadakan penyalaan kembang api raksasa di Pulau Kumala pada malam hari. Ratusan ribu orang menyaksikan indahnya warna-warni menghiasi langit dari tepian Sungai Mahakam.
Saat ini, penyelenggaraan Festival Erau oleh masyarakat Tenggarong tidak sekedar untuk melestarikan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, akan tetapi juga untuk memperkenalkan potensi wisata Kutai Kartanegara. Sebagaimana yang diungkapkan oleh mantan Bupati Kutai Kartanegera, Syaukani, Festival Erau merupakan wujud rasa syukur masyarakat Kutai Kartanegara dan pemerintah daerah dalam melakukan kegiatan pembangunan. Pelaksanaan Erau diharapkan dapat menjadi upaya positif untuk menjual dan memperkenalkan potensi wisata Kutai Kartanegara. Festival Erau selalu dinanti-nanti oleh masyarakat Kutai Kartanegara setiap tahun, karena memang sudah masuk dalam kalender wisata nasional. Festival Erau ini merupakan sebuah peristiwa yang telah menjadi kebanggaan masyarakat Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Indonesia.

NB : Erau berasal bahasa Kutai eroh yang artinya ramai, riuh, ribut, suasana yang penuh sukacita. Dalam pengertian yang paling sederhana, erau atau eroh adalah pesta yang diselenggerakan oleh sekelompok orang dengan berbagai kegiatan yang mempunyai maksud dan mengandung makna, baik bersifat sakral, ritual maupun hiburan.

Leganda Ikan Pesut

Pada jaman dahulu kala di rantau Mahakam, terdapat sebuah dusun yang didiami oleh beberapa keluarga. Mata pencaharian mereka kebanyakan adalah sebagai petani maupun nelayan. Setiap tahun setelah musim panen, penduduk dusun tersebut biasanya mengadakan pesta adat yang diisi dengan beraneka macam pertunjukan ketangkasan dan kesenian.
Ditengah masyarakat yang tinggal di dusun tersebut, terdapat suatu keluarga yang hidup rukun dan damai dalam sebuah pondok yang sederhana. Mereka terdiri dari sepasang suami-istri dan dua orang putra dan putri. Kebutuhan hidup mereka tidak terlalu sukar untuk dipenuhi karena mereka memiliki kebun yang ditanami berbagai jenis buah-buahan dan sayur-sayuran. Begitu pula segala macam kesulitan dapat diatasi dengan cara yang bijaksana, sehingga mereka hidup  dengan bahagia selama bertahun-tahun.

Pada suatu ketika, sang ibu terserang oleh suatu penyakit. Walau telah diobati oleh beberapa orang tabib, namun sakit sang ibu tak kunjung sembuh pula hingga akhirnya ia meninggal dunia. Sepeninggal sang ibu, kehidupan keluarga ini mulai tak terurus lagi.  Mereka larut dalam kesedihan yang mendalam karena kehilangan orang yang sangat mereka cintai. Sang ayah menjadi pendiam dan pemurung, sementara kedua anaknya selalu diliputi rasa bingung, tak tahu apa yang mesti dilakukan. Keadaan rumah dan kebun mereka kini sudah tak terawat lagi. Beberapa sesepuh desa telah mencoba menasehati sang ayah agar tidak larut dalam kesedihan, namun nasehat-nasehat mereka tak dapat memberikan perubahan padanya. Keadaan ini berlangsung cukup lama.

Suatu hari di dusun tersebut kembali diadakan pesta adat panen. Berbagai pertunjukan dan hiburan kembali digelar. Dalam suatu pertunjukan ketangkasan, terdapatlah seorang gadis yang cantik dan mempesona sehingga selalu mendapat sambutan pemuda-pemuda dusun tersebut bila ia beraksi. Mendengar berita yang demikian itu, tergugah juga hati sang ayah untuk turut menyaksikan bagaimana kehebatan pertunjukan yang begitu dipuji-puji penduduk dusun hingga banyak pemuda yang tergila-gila dibuatnya.
Malam itu adalah malam ketujuh dari acara keramaian yang dilangsungkan. Perlahan-lahan sang ayah berjalan mendekati tempat pertunjukan dimana gadis itu akan bermain. Sengaja ia berdiri di depan agar dapat dengan jelas menyaksikan permainan serta wajah sang gadis. Akhirnya pertunjukan pun dimulai. Berbeda dengan penonton lainnya, sang ayah tidak banyak tertawa geli atau memuji-muji penampilan sang gadis. Walau demikian sekali-sekali ada juga sang ayah tersenyum kecil. Sang gadis melemparkan senyum manisnya kepada para penonton yang memujinya maupun yang menggodanya. Suatu saat, akhirnya bertemu jua pandangan antara si gadis dan sang ayah tadi. Kejadian ini berulang beberapa kali, dan tidak lah diperkirakan sama sekali kiranya bahwa terjalin rasa cinta antara sang gadis dengan sang ayah dari dua orang anak tersebut.
Demikianlah keadaannya, atas persetujuan kedua belah pihak dan restu dari para sesepuh maka dilangsungkanlah pernikahan antara mereka setelah pesta adat di dusun tersebut usai. Dan berakhir pula lah kemuraman keluarga tersebut, kini mulailah mereka menyusun hidup baru. Mereka mulai mengerjakan kegiatan-kegiatan yang dahulunya tidak mereka usahakan lagi. Sang ayah kembali rajin berladang dengan dibantu kedua anaknya, sementara sang ibu tiri tinggal di rumah menyiapkan makanan bagi mereka sekeluarga. Begitulah seterusnya sampai berbulan-bulan lamanya hingga kehidupan mereka cerah kembali.
Dalam keadaan yang demikian, tidak lah diduga sama sekali ternyata sang ibu baru tersebut lama kelamaan memiliki sifat yang kurang baik terhadap kedua anak tirinya. Kedua anak itu baru diberi makan setelah ada sisa makanan dari ayahnya. Sang ayah hanya dapat memaklumi perbuatan istrinya itu, tak dapat berbuat apa-apa karena dia sangat mencintainya. Akhirnya, seluruh rumah tangga diatur dan berada ditangan sang istri muda yang serakah tersebut. Kedua orang anak tirinya disuruh bekerja keras setiap hari tanpa mengenal lelah dan bahkan disuruh mengerjakan hal-hal yang diluar kemampuan mereka.
Pada suatu ketika, sang ibu tiri telah membuat suatu rencana jahat. Ia menyuruh kedua anak tirinya untuk mencari kayu bakar di hutan.

"Kalian berdua hari ini harus mencari kayu bakar lagi!" perintah sang ibu, "Jumlahnya harus tiga kali lebih banyak dari yang kalian peroleh kemarin. Dan ingat! Jangan pulang sebelum kayunya banyak dikumpulkan. Mengerti?!"


"Tapi, Bu..." jawab anak lelakinya, "Untuk apa kayu sebanyak itu...? Kayu yang ada saja masih cukup banyak. Nanti kalau sudah hampir habis, barulah kami mencarinya lagi..."


"Apa?! Kalian sudah berani membantah ya?! Nanti kulaporkan ke ayahmu bahwa kalian pemalas! Ayo, berangkat sekarang juga!!" kata si ibu tiri dengan marahnya.

Anak tirinya yang perempuan kemudian menarik tangan kakaknya untuk segera pergi. Ia tahu bahwa ayahnya telah dipengaruhi sang ibu tiri, jadi sia-sia saja untuk membantah karena tetap akan dipersalahkan jua. Setelah membawa beberapa perlengkapan, berangkatlah mereka menuju hutan. Hingga senja menjelang, kayu yang dikumpulkan belum mencukupi seperti yang diminta ibu tiri mereka. Terpaksa lah mereka harus bermalam di hutan dalam sebuah bekas pondok seseorang agar dapat meneruskan pekerjaan mereka esok harinya. Hampir tengah malam barulah mereka dapat terlelap walau rasa lapar masih membelit perut mereka.

Esok paginya, mereka pun mulai mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya. Menjelang tengah hari, rasa lapar pun tak tertahankan lagi, akhirnya mereka tergeletak di tanah selama beberapa saat. Dan tanpa mereka ketahui, seorang kakek tua datang menghampiri mereka. 

"Apa yang kalian lakukan disini, anak-anak?!" tanya kakek itu kepada mereka.
 

Kedua anak yang malang tersebut lalu menceritakan semuanya, termasuk tingkah ibu tiri mereka dan keadaan mereka yang belum makan nasi sejak kemarin hingga rasanya tak sanggup lagi untuk meneruskan pekerjaan.
"Kalau begitu..., pergilah kalian ke arah sana." kata si kakek sambil menunjuk ke arah rimbunan belukar, "Disitu banyak terdapat pohon buah-buahan. Makanlah sepuas-puasnya sampai kenyang. Tapi ingat, janganlah dicari lagi esok harinya karena akan sia-sia saja. Pergilah sekarang juga!"

Sambil mengucapkan terima kasih, kedua kakak beradik tersebut bergegas menuju ke tempat yang dimaksud. Ternyata benar apa yang diucapkan kakek tadi, disana banyak terdapat beraneka macam pohon buah-buahan. Buah durian, nangka, cempedak, wanyi, mangga dan pepaya yang telah masak tampak berserakan di tanah. Buah-buahan lain seperti pisang, rambutan dan kelapa gading nampak bergantungan di pohonnya. Mereka kemudian memakan buah-buahan tersebut hingga kenyang dan badan terasa segar kembali. Setelah beristirahat beberapa saat, mereka dapat kembali melanjutkan pekerjaan mengumpulkan kayu hingga sesuai dengan yang diminta sang ibu tiri.

Menjelang sore, sedikit demi sedikit kayu yang jumlahnya banyak itu berhasil diangsur semuanya ke rumah. Mereka kemudian menyusun kayu-kayu tersebut tanpa memperhatikan keadaan rumah. Setelah tuntas, barulah mereka naik ke rumah untuk melapor kepada sang ibu tiri, namun alangkah terkejutnya mereka ketika melihat isi rumah yang telah kosong melompong.

Ternyata ayah dan ibu tiri mereka telah pergi meninggalkan rumah itu. Seluruh harta benda didalam rumah tersebut telah habis dibawa serta, ini berarti mereka pergi dan tak akan kembali lagi ke rumah itu. Kedua kakak beradik yang malang itu kemudian menangis sejadi-jadinya. Mendengar tangisan keduanya, berdatanganlah tetangga sekitarnya untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi. Mereka terkejut setelah mengetahui bahwa kedua ayah dan ibu tiri anak-anak tersebut telah pindah secara diam-diam.

Esok harinya, kedua anak tersebut bersikeras untuk mencari orangtuanya. Mereka memberitahukan rencana tersebut kepada tetangga terdekat. Beberapa tetangga yang iba kemudian menukar kayu bakar dengan bekal bahan makanan bagi perjalanan kedua anak itu. Menjelang tengah hari, berangkatlah keduanya mencari ayah dan ibu tiri mereka.

Telah dua hari mereka berjalan namun orangtua mereka belum juga dijumpai, sementara perbekalan makanan sudah habis. Pada hari yang ketiga, sampailah mereka di suatu daerah yang berbukit dan tampaklah oleh mereka asap api mengepul di kejauhan. Mereka segera menuju ke arah tempat itu sekedar bertanya kepada penghuninya barangkali mengetahui atau melihat kedua orangtua mereka.

Mereka akhirnya menjumpai sebuah pondok yang sudah reot. Tampak seorang kakek tua sedang duduk-duduk didepan pondok tersebut. Kedua kakak beradik itu lalu memberi hormat kepada sang kakek tua dan memberi salam.
 

"Dari mana kalian ini? Apa maksud kalian hingga datang ke tempat saya yang jauh terpencil ini?" tanya sang kakek sambil sesekali terbatuk-batuk kecil.
 

"Maaf, Tok." kata si anak lelaki, "Kami ini sedang mencari kedua urangtuha kami. Apakah Datok pernah melihat seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masih muda lewat disini?"
 

Sang kakek terdiam sebentar sambil mengernyitkan keningnya, tampaknya ia sedang berusaha keras untuk mengingat-ingat sesuatu.
 

"Hmmm..., beberapa hari yang lalu memang ada sepasang suami-istri yang datang kesini." kata si kakek kemudian, "Mereka banyak sekali membawa barang. Apakah mereka itu yang kalian cari?"
 

"Tak salah lagi, Tok." kata anak lelaki itu dengan gembira, "Mereka pasti urangtuha kami! Ke arah mana mereka pergi, Tok?"
 

"Waktu itu mereka meminjam perahuku untuk menyeberangi sungai. Mereka bilang, mereka ingin menetap diseberang sana dan hendak membuat sebuah pondok dan perkebunan baru. Cobalah kalian cari di seberang sana."
 

"Terima kasih, Tok..." kata si anak sulung tersebut, "Tapi..., bisakah Datok mengantarkan kami ke seberang sungai?"
 

"Datok ni dah tuha... mana kuat lagi untuk mendayung perahu!" kata si kakek sambil terkekeh, "Kalau kalian ingin menyusul mereka, pakai sajalah perahuku yang ada ditepi sungai itu."

Kakak beradik itu pun memberanikan diri untuk membawa perahu si kakek. Mereka berjanji akan mengembalikan perahu tersebut jika telah berhasil menemukan kedua orangtua mereka. Setelah mengucapkan terima kasih, mereka lalu menaiki perahu dan mendayungnya menuju ke seberang. Keduanya lupa akan rasa lapar yang membelit perut mereka karena rasa gembira setelah mengetahui keberadaan orangtua mereka. Akhirnya mereka sampai di seberang dan menambatkan perahu tersebut dalam sebuah anak sungai. Setelah dua hari lamanya berjalan dengan perut kosong, barulah mereka menemui ujung sebuah dusun yang jarang sekali penduduknya.

Tampaklah oleh mereka sebuah pondok yang kelihatannya baru dibangun. Perlahan-lahan mereka mendekati pondok itu. Dengan perasaan cemas dan ragu si kakak menaiki tangga dan memanggil-manggil penghuninya, sementara si adik berjalan mengitari pondok hingga ia menemukan jemuran pakaian yang ada di belakang pondok. Ia pun teringat pada baju ayahnya yang pernah dijahitnya karena sobek terkait duri, setelah didekatinya maka yakinlah ia bahwa itu memang baju ayahnya. Segera ia berlari menghampiri kakaknya sambil menunjukkan baju sang ayah yang ditemukannya di belakang. Tanpa pikir panjang lagi mereka pun memasuki pondok dan ternyata pondok tersebut memang berisi barang-barang milik ayah mereka.

Rupanya orangtua mereka terburu-buru pergi, sehingga di dapur masih ada periuk yang diletakkan diatas api yang masih menyala. Didalam periuk tersebut ada nasi yang telah menjadi bubur. Karena lapar, si kakak akhirnya melahap nasi bubur yang masih panas tersebut sepuas-puasnya. Adiknya yang baru menyusul ke dapur menjadi terkejut melihat apa yang sedang dikerjakan kakaknya, segera ia menyambar periuk yang isinya tinggal sedikit itu. Karena takut tidak kebagian, ia langsung melahap nasi bubur tersebut sekaligus dengan periuknya.

Karena bubur yang dimakan tersebut masih panas maka suhu badan mereka pun menjadi naik tak terhingga. Dalam keadaan tak karuan demikian, keduanya berlari kesana kemari hendak mencari sungai. Setiap pohon pisang yang mereka temui di kiri-kanan jalan menuju sungai, secara bergantian mereka peluk sehingga pohon pisang tersebut menjadi layu. Begitu mereka tiba di tepi sungai, segeralah mereka terjun ke dalamnya. Hampir bersamaan dengan itu, penghuni pondok yang memang benar adalah orangtua kedua anak yang malang itu terheran-heran ketika melihat banyak pohon pisang di sekitar pondok mereka menjadi layu dan hangus.

Namun mereka sangat terkejut ketika masuk kedalam pondok dan mejumpai sebuah bungkusan dan dua buah mandau kepunyaan kedua anaknya. Sang istri terus memeriksa isi pondok hingga ke dapur, dan dia tak menemukan lagi periuk yang tadi ditinggalkannya. Ia kemudian melaporkan hal itu kepada suaminya. Mereka kemudian bergegas turun dari pondok dan mengikuti jalan menuju sungai yang di kiri-kanannya banyak terdapat pohon pisang yang telah layu dan hangus.

Sesampainya di tepi sungai, terlihatlah oleh mereka dua makhluk yang bergerak kesana kemari didalam air sambil menyemburkan air dari kepalanya. Pikiran sang suami teringat pada rentetan kejadian yang mungkin sekali ada hubungannya dengan keluarga. Ia terperanjat karena tiba-tiba istrinya sudah tidak ada disampingnya. Rupanya ia menghilang secara gaib. Kini sadarlah sang suami bahwa istrinya bukanlah keturunan manusia biasa. Semenjak perkawinan mereka, sang istri memang tidak pernah mau menceritakan asal usulnya.

Tak lama berselang, penduduk desa datang berbondong-bondong ke tepi sungai untuk menyaksikan keanehan yang baru saja terjadi. Dua ekor ikan yang kepalanya mirip dengan kepala manusia sedang bergerak kesana kemari ditengah sungai sambil sekali-sekali muncul di permukaan dan menyemburkan air dari kepalanya. Masyarakat yang berada di tempat itu memperkirakan bahwa air semburan kedua makhluk tersebut panas sehingga dapat menyebabkan ikan-ikan kecil mati jika terkena semburannya.

Oleh masyarakat Kutai, ikan yang menyembur-nyemburkan air itu dinamakan ikan Pasut atau Pesut. Sementara masyarakat di pedalaman Mahakam menamakannya ikan Bawoi.