Tenggarong adalah ibu kota Kabupaten
Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Indonesia. Pada mulanya, kota Tenggarong
merupakan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara bernama Tepian Pandan. Namun,
oleh Sultan Kutai, Aji Muhammad Muslihuddin (Aji Imbut), nama Tepian Pandan
diubah menjadi Tangga Arung yang berarti rumah raja. Kemudian dalam
perkembangannya, Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong sampai saat
ini. Di daerah ini telah berkembang sebuah cerita legenda yang sangat populer
yaitu Asal-Mula Erau. Cerita legenda ini mengambil latar belakang cerita di
masa Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura (abad ke-13 M.) yang berdiri
di Tepian Batu atau Kutai Lama. Cerita legenda ini terpusat pada kisah seorang
laki-laki bernama Aji Batara Agung Dewa Sakti, seorang dari keturunan Dewa yang
memiliki wajah sangat tampan, sehat dan cerdas. Ia tumbuh dan berkembang di
lingkungan suku-bangsa Tenggarong Kutai. Sebagai keturunan Dewa, ia tidak boleh
diperlakukan seperti halnya seorang anak manusia biasa. Oleh karena itu, sejak
kecil ia dirawat dan dibesarkan dengan baik dan hati-hati oleh keluarga
Petinggi Dusun Jaitan Layar. Pada waktu-waktu tertentu, keluarga Petinggi Dusun
Jaitan Layar harus mengadakan upacara adat untuk Aji Batara Dewa Sakti yang
dikenal dengan Erau.
Alkisah, di lereng sebuah gunung di
daerah Kalimantan Timur terdapat sebuah dusun bernama Jaitan Layar. Di dusun
itu tinggal seorang Petinggi bersama istrinya. Meski sudah menikah puluhan
tahun, mereka belum dikaruniai seorang anak pun. Namun demikian, suami-istri
itu tak pernah putus asa. Mereka senantiasa pergi bertapa, menjauhi kerabat dan
rakyatnya untuk memohon pada Dewata agar diberi keturunan.
Pada suatu malam, ketika mereka
sedang tertidur nyenyak, tiba-tiba dikejutkan oleh suara gemuruh di halaman
rumahnya. Malam yang semula gelap gulita tiba-tiba berubah menjadi terang
benderang, kejadian itu membuat mereka sangat heran. “Pak, coba lihat apa yang
terjadi di luar,” kata sang istri.
Dengan memberanikan diri Petinggi
Dusun Jaitan Layar keluar dari rumahnya. Ia sangat terkejut melihat sebuah batu
raga mas berada di halaman rumahnya. Di dalamnya terbaring seorang bayi
laki-laki yang masih merah berselimutkan kain berwarna emas. Tangan kanan bayi
itu menggenggam sebutir telur ayam dan tangan kirinya memegang sebilah keris
emas.
Petinggi Dusun itu semakin terkejut
ketika tiba-tiba di hadapannya berdiri tujuh dewa. Satu dari tujuh dewa itu
berkata, “Berterima kasihlah kamu, karena doamu telah dikabulkan oleh para
Dewa.”
Kemudian Dewa itu berpesan kepada
Petinggi Jaitan Layar, ”Ketahuilah bayi ini keturunan para Dewa di Kahyangan.
Oleh karena itu kamu tidak boleh menyia-nyiakannya. Cara merawatnya berbeda
dengan merawat anak manusia. Bayi ini tidak boleh diletakkan sembarangan di
atas tikar, akan tetapi selama empat puluh hari empat puluh malam harus
dipangku secara bergantian oleh kaum kerabat sang Petinggi. Jika kamu ingin
memandikan bayi ini, jangan menggunakan air biasa, tetapi harus dengan air yang
diberi bunga-bungaan.”
Dewa itu juga berpesan kepada sang
Petinggi, “Jika bayi ini sudah besar tidak boleh menginjak tanah sebelum
diadakan Erau. Pada upacara Tijak Tanah (Menginjak Tanah), kaki anak ini harus
diinjakkan pada kepala manusia yang masih hidup dan kepala manusia yang sudah
mati. Selain itu, kaki anak ini juga harus diinjakkan pada kepala kerbau yang
masih hidup dan kepala kerbau yang sudah mati. Begitu pula jika anakmu hendak
mandi di sungai untuk pertama kali, hendaknya kau harus mengadakan Erau Mandi
ke Tepian sebagaimana pada upacara Tijak Tanah.”
Bukan main senangnya Petinggi Jaitan
Layar mendapatkan anak keturunan para Dewa. “Terima kasih Dewa. Semua perintah
Dewa akan hamba laksanakan,” kata sang Petinggi sambil menyembah. Saat itu
pula, tiba-tiba ketujuh Dewa tersebut menghilang dari hadapan sang Petinggi.
Bayi itu pun segera dibawa oleh sang Petinggi masuk ke dalam rumah. Lalu, sang
Petinggi menceritakan kejadian yang baru saja ia alami kepada istrinya. Bukan
main senangnya istri sang Petinggi mendengar cerita suaminya, apalagi setelah
ia melihat bayi itu. Ia bagaikan bulan purnama, wajahnya tampan tiada banding,
tubuhnya sehat dan segar, siapa pun memandangnya akan bangkit kasih sayang
terhadapnya.
Beberapa saat kemudian bayi itu
tiba-tiba menangis. Sepertinya bayi itu sedang kelaparan. Sang Petinggi pun
menjadi bingung, karena payudara istrinya tidak dapat mengeluarkan air susu.
Apa lagi yang bisa diharapkan dari seorang perempuan tua seperti istrinya untuk
menyusui seorang anak. Akhirnya, sang Petinggi membakar dupa dan setanggi.
Lalu, sambil menghambur beras kuning, ia memanjatkan doa kepada para Dewa agar
memberikan karunia kepada istrinya berupa air susu yang harum baunya. Tak lama
setelah berdoa, terdengarlah suara dari Kahyangan, “Hai Nyai Jaitan Layar,
usap-usaplah payudaramu dengan tangan berulang-ulang sampai terpancar air susu
darinya”.
Mendengar perintah itu, istri
Petinggi Jaitan Layar segera mengusap-usap payudaranya sebelah kanan sebanyak
tiga kali. Tiba-tiba, mencuratlah dengan derasnya air susu dari payudaranya
yang sangat harum baunya seperti bau ambar dan kasturi. Bayi itupun mulai
menyusu pada istri Petinggi. Kedua suami-istri itu sangat bahagia melihat bayi
keturunan Dewa itu telah mendapatkan air susu.
Setiap hari, sang Petinggi dan
istrinya merawat anak mereka dengan baik. Sesuai perintah Dewa, mereka
senantiasa memandikan bayi itu dengan air yang diberi bunga-bungaan. Tiga hari
tiga malam kemudian, putuslah tali pusar bayi itu. Seluruh penduduk dusun
Jaitan Layar bergembira. Mereka merayakannya dengan menembakkan Meriam Sapu
Jagat sebanyak tujuh kali. Empat puluh hari empat puluh malam bayi itu dipangku
penduduk secara bergantian dan berhati-hati. Sesuai petunjuk Dewa dalam mimpi
Petinggi, bayi laki-laki itu diberi nama Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Waktu terus berlalu. Kini Aji Batara
Agung Dewa Sakti telah berumur lima tahun. Anak seusia Aji tentu sangat ingin
bermain di luar rumah bersama teman-teman sebayanya. Ia juga ingin mandi di
sungai seperti anak-anak lain. Ia sudah sangat bosan dan jenuh dikurung di
dalam rumah.
Sang Petinggi teringat dengan pesan
Dewa ketika menerima anak itu. Maka ia dan istrinya bersama seluruh penduduk
Dusun Jaitan Layar mempersiapkan Erau. Dalam pesta Erau itu digelar upacara
Tijak Tanah dan Mandi ke Tepian. Upacara Erau berlangsung sangat meriah selama
empat puluh hari empat puluh malam. Sesuai petunjuk Dewa, Petinggi menyembeli
bermacam-macam binatang dan beberapa orang untuk diinjak kepalanya oleh Aji
Batara Agung pada upacara Tijak Tanah.
Dalam upacara Tijak Tanah dan Mandi ke Tepian, Aji Batara Agung diarak dan kemudian kakinya dipijakkan pada kepala-kepala binatang dan manusia yang telah diselimuti kain kuning. Kemudian Aji Batara Agung diselimuti dengan kain kuning, lalu diarak ke tepian sungai. Di tepi sungai, Aji Batara Agung dimandikan, kakinya dipijakkan pada besi dan batu. Semua penduduk Jaitan Layar kemudian turut mandi, baik wanita maupun pria, baik orang tua maupun orang muda. Setelah selesai upacara mandi, maka khalayak mengarak kembali Aji Batara Agung ke rumah orang tuanya, lalu memberinya pakaian kebesaran. Setelah itu mereka mengarak kembali Aji Batara Agung ke halaman dengan dilindungi payung agung, diiringi dengan lagu gamelan Gajah Perwata dan bunyi meriam Sapu Jagat.
Dalam upacara Tijak Tanah dan Mandi ke Tepian, Aji Batara Agung diarak dan kemudian kakinya dipijakkan pada kepala-kepala binatang dan manusia yang telah diselimuti kain kuning. Kemudian Aji Batara Agung diselimuti dengan kain kuning, lalu diarak ke tepian sungai. Di tepi sungai, Aji Batara Agung dimandikan, kakinya dipijakkan pada besi dan batu. Semua penduduk Jaitan Layar kemudian turut mandi, baik wanita maupun pria, baik orang tua maupun orang muda. Setelah selesai upacara mandi, maka khalayak mengarak kembali Aji Batara Agung ke rumah orang tuanya, lalu memberinya pakaian kebesaran. Setelah itu mereka mengarak kembali Aji Batara Agung ke halaman dengan dilindungi payung agung, diiringi dengan lagu gamelan Gajah Perwata dan bunyi meriam Sapu Jagat.
Sesaat kemudian, tiba-tiba dentuman
suara guntur yang sangat dahsyat menggoncang bumi disertai dengan hujan panas
turun merintik. Kejadian itu tidak berlangsung lama. Cahaya cerah kembali
menerangi alam, awan di langit bergulung-gulung seakan-akan memayungi penduduk
yang sedang mengadakan upacara di bumi. Penduduk Jaitan Layar kemudian
menghamparkan permadani dan kasur agung, lalu membaringkan Aji Batara Agung di
atasnya. Gigi Aji Batara Agung pun diasah kemudian diberi makan sirih.
Selesai upacara tersebut, pesta Erau
pun dimulai. Berbagai makanan dan minuman disediakan untuk penduduk.
Bermacam-macam permainan dipertunjukkan. Laki-laki dan perempuan menari silih
berganti. Juga tidak ketinggalan diadakan adu binatang. Keramaian ini
berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dengan tidak putus-putusnya.
Setelah pesta Erau selesai, semua
bekas balai-balai yang digunakan dalam pesta ini dibagi-bagikan oleh Petinggi
kepada penduduk yang melarat. Demikian pula, semua hiasan-hiasan rumah oleh
istri Petinggi diberikan kepada penduduk.
Para undangan dari berbagai negeri
dan dusun, berpamitan kepada Petinggi dan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Mereka
memuji-muji Aji Batara Agung dengan berkata, “Tiada siapa pun yang dapat
menyamainya, baik rupanya yang tampan maupun sikapnya yang berwibawa. Patutlah
dia anak dari batara Dewa-Dewa di khayangan.” Setelah berpamitan, para undangan
kembali ke negeri dan dusunnya masing-masing untuk mencari nafkah
sehari-sehari.
Sementara itu, Aji Batara Agung Dewa
Sakti makin hari makin dewasa. Ia tumbuh menjadi remaja yang gagah, tampan,
cerdas dan berwibawa. Ia kelak akan menjadi Raja pertama dari kerajaan Kutai
Kartanegara. Setelah mencapai usia dewasa, tibalah saatnya Aji Batara Agung
Dewa Sakti diangkat menjadi raja Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura
yang pertama (1300-1325). Saat ia diangkat menjadi raja, Erau kembali diadakan
dengan meriah. Sebagai raja pertama, maka Aji Batara Agung Dewa Sakti dianggap
sebagai nenek moyang raja-raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura.
Setelah menjadi raja, Aji Batara
Agun Dewa Sakti menikah dengan seorang putri yang cantik jelita bernama
Putri Karang Melenu. Konon ceritanya, Putri Karang Melenu juga merupakan
titisan Dewa dari Kahyangan. Awalnya, ia adalah ulat kecil yang ditemukan oleh
seorang Petinggi Hulu Dusun di daerah kampung Melanti dekat Aliran Sungai
Mahakam. Pada suatu hari, ketika Petinggi Hulu Dusun sedang membelah kayu
bakar, tiba-tiba ia dikejutkan oleh seekor ulat kecil. Ulat kecil itu melingkar
di belahan kayu dan memandangnya dengan mata yang sayu, seakan minta
dikasihani. Dengan lembut sang Petinggi mengambil ulat itu untuk dipelihara.
Waktu terus berlalu. Ulat kecil itu
tumbuh semakin besar. Lama-kelamaan binatang itu berubah menjadi seekor naga
yang besar. Meskipun besar dan menyeramkan, naga itu jinak dan tak pernah
keluar dari rumah. Pada suatu malam Petinggi bermimpi bertemu seorang putri
yang cantik jelita. Dalam mimpinya, sang Putri berkata, “Ayah dan Bunda tidak
usah takut kepada ananda, meski tubuh ananda besar dan menakutkan. Izinkanlah
ananda untuk pergi dari sini. Buatkanlah ananda sebuah tangga untuk merayap ke
bawah”. Ketika terbangun, sang Petinggi menceritakan mimpinya kepada Istrinya,
Babu Jaruma.
Keesokan harinya, sang Petinggi pun
sibuk membuat tangga dari kayu lampong. Anak tangganya terbuat dari bambu yang
diikat dengan akar lembiding. Selesai membuat tangga, tiba-tiba Petinggi
mendengar suara sang Putri yang menemuinya dalam mimpi. “Bila ananda telah
turun ke tanah, ananda minta Ayahanda dan Bunda mengikuti ananda ke mana saja
ananda merayap. Ananda juga minta agar Ayahanda membakar wijen hitam serta
menaburi ananda dengan beras kuning. Jika ananda merayap sampai ke sungai dan
menyelam, ananda mohon Ayahanda dan Bunda mengiringi buihku.” Sang Naga pun
kemudian menuruni tangga, lalu merayap meninggalkan rumah. Sang Petinggi dan
istrinya mengikuti naga itu sesuai dengan petunjuk sang Putri.
Ketika sang Naga sampai di sungai,
ia berenang tujuh kali berturut-turut ke hulu dan tujuh kali ke hilir. Kemudian
dia berenang ke Tepian Batu. Petinggi dan istrinya mengikuti sang Naga dengan
perahu. Di Tepian Batu, sang Naga berenang ke kiri tiga kali dan ke kanan tiga
kali kemudian menyelam. Pada saat menyelam, tiba-tiba terjadilah peristiwa yang
sangat dahsyat. Air sungai pun bergolak. Angin topan bertiup dengan kencang.
Hujan deras turun disertai guntur dan petir bersahut-sahutan. Perahu yang
ditumpangi Petinggi dan istrinya terombang-ambing oleh gelombang air sungai.
Dengan susah payah Petinggi berusaha mengayuh perahunya ke tepi.
Tak lama peristiwa itu berlangsung,
tiba-tiba cuaca kembali terang. Petinggi dan istrinya heran. Ke mana perginya
sang Naga? Tiba-tiba mereka melihat suatu pemandangan yang menakjubkan. Air
Sungai Mahakam dipenuhi dengan buih. Warna-warni sinar pelangi menerpa buih
hingga bercahaya kemilau. Petinggi dan istrinya mendekat. Mereka terkejut
karena ditumpukan buih itu terdapat sebuah gong besar dan di dalamnya ada
sebuah benda. Entahlah, benda apa itu? Petinggi dan istrinya semakin penasaran.
Petinggi bergegas mengayuh perahunya ke arah benda itu. “Lihat Pak! Sepertinya
benda itu seorang bayi,” seru istri Petinggi sambil menunjuk ke arah gong itu.
Ternyata benar, benda di dalam gong itu adalah seorang bayi perempuan. Kemudian
mereka pun mengambil gong berisi bayi itu dan membawanya pulang.
Sang Petinggi dan istrinya merawat
bayi itu dengan baik seperti anak kandungnya sendiri. Mereka sangat senang
sekali mendapatkan anak dari Kahyangan. Setelah genap tiga hari, putuslah tali
pusar bayi itu. Sesuai perintah Dewa di dalam mimpi Petinggi, bayi perempuan
itu diberi nama Putri Karang Melenu.
Waktu terus berjalan, Putri Karang
Melanu tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita, baik budi, dan pintar.
Setelah dewasa, Dewata pun mempertemukannya dengan Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Keduanya lalu menikah. Sang Putri pun menjadi permaisuri Raja Kutai Kartanegara
Ing Marta Dipura I dan melahirkan seorang putra bernama Aji Batara Agung Paduka
Nira.
Demikianlah kisah perjalanan hidup
Raja Aji Batara Agung Dewa Sakti dengan permaisurinya Putri Karang Melanu mulai
kecil hingga akhirnya mereka menikah. Sejak Aji Batara Agung Dewa Sakti menjadi
Raja Kutai Kartanegara, Erau diadakan pada setiap pergantian atau penobatan
raja-raja Kutai Kartanegara. Untuk mengenang kembali peristiwa kehadiran Putri
Karang Melanu, diadakan pula upacara Mengulur Naga. Upacara ini merupakan
puncak acara pada Erau yang hampir setiap tahunnya diselenggarakan oleh
masyarakat Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Selain Mengulur Naga,
masyarakat Kutai Kartanegara mengenang Putri Karang Melanu dengan membangun
sebuah gedung pertunjukkan pada tahun 2003 yang diberi nama Putri Karang
Melanu.
Pada masa kerajaan Kutai
Kartanegara, Erau diselenggarakan oleh kerabat istana dengan mengundang pemuka
masyarakat yang setia kepada raja. Waktu penyelenggaraan Festival Erau
tergantung pada kemampuan kerajaan, minimal tujuh hari delapan malam dan
maksimal empat puluh hari empat puluh malam. Namun, sejak masa kerajaan Kutai
Kartanegara berakhir tahun 1960, pelaksanaan Erau sempat mandek selama beberapa
tahun. Baru pada tahun 1971, Erau (yang kemudian populer dengan sebutan
Festival Erau) ini kembali dilaksanakan atas prakarsa Bupati Kutai, Achmad
Dahlan, dengan merangkaikan perayaan hari jadi Kota Tenggarong. Sejak itulah,
Festival Erau menjadi agenda rutin pemerintah Kutai Kartanegara dalam rangka
memperingati hari jadi Kota Tenggarong. Oleh karena itu, setiap perayaan hari
jadi Kota Tenggarong selalu dirangkaikan dengan Festival Erau dan berbagai
festival lainnya. Pada tanggal 28 September 2003, perayaan hari jadi Kota
Tenggarong ke-221 dirangkaian dengan penyelenggaraan Festival Erau dan Zapin International
Festival.
Dalam Festival Erau, berbagai macam
seni dan olahraga tradisional yang mereka tampilkan, di antaranya Menjamu
Benua, Merangin Malam, Mendirikan Tiang Ayu, Upacara Penabalan, Pelas
(Pagelaran Kesenian Keraton Kutai Kartanegara), Seluak Mudik, Mengulur Naga,
dan diakhiri dengan Belibur. Selain itu, dalam festival itu juga ditampilkan
berbagai kesenian Dayak seperti Papaer Maper, Kuangkay, Mumutn, Ngayau, Lemakan
Balei, Uman Undad, Pasek Truit, Erau Anak (Penhos). Tak ketinggalan pula keseniaan
daerah pesisir (kesenian Melayu) seperti Tarsul dan Badendang. Untuk lebih
meramaikan Festival Erau, biasanya diadakan penyalaan kembang api raksasa di
Pulau Kumala pada malam hari. Ratusan ribu orang menyaksikan indahnya
warna-warni menghiasi langit dari tepian Sungai Mahakam.
Saat ini, penyelenggaraan Festival
Erau oleh masyarakat Tenggarong tidak sekedar untuk melestarikan nilai-nilai
luhur bangsa Indonesia, akan tetapi juga untuk memperkenalkan potensi wisata
Kutai Kartanegara. Sebagaimana yang diungkapkan oleh mantan Bupati Kutai
Kartanegera, Syaukani, Festival Erau merupakan wujud rasa syukur masyarakat
Kutai Kartanegara dan pemerintah daerah dalam melakukan kegiatan pembangunan.
Pelaksanaan Erau diharapkan dapat menjadi upaya positif untuk menjual dan
memperkenalkan potensi wisata Kutai Kartanegara. Festival Erau selalu
dinanti-nanti oleh masyarakat Kutai Kartanegara setiap tahun, karena memang
sudah masuk dalam kalender wisata nasional. Festival Erau ini merupakan sebuah
peristiwa yang telah menjadi kebanggaan masyarakat Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur, Indonesia.
NB : Erau berasal bahasa Kutai eroh yang artinya ramai, riuh, ribut, suasana yang penuh sukacita. Dalam pengertian yang paling sederhana, erau atau eroh adalah pesta yang diselenggerakan oleh sekelompok orang dengan berbagai kegiatan yang mempunyai maksud dan mengandung makna, baik bersifat sakral, ritual maupun hiburan.